Monday 31 January 2011

Al-Qur'an dan adab jahili

PEMBAHASAN

القرآن ولأدب الجاهلى ومجيئهما بلغة قريش

A. Sastra (Sya'ir) Arab Jahiliyah

oleh : Syofyan Hadi, M.Ag

dikutip oleh : Rona Amelia

Syair sebagaimana yang dikatakan oleh M.Atar Semi, adalah karya seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya. Dengan ungkapan lain, bahwa syair adalah gambaran nyata tentang kehidupan masyarakat zaman jahiliyah. Syair pada hakikatnya menggambarkan berbagai macam aspek kehidupan; sosial, budaya, ekonomi, politik, gaya berfikir serta agama dan kepercayaan masyarakatnya.

Hal itulah, agaknya yang membuat para sejarawan menjadi “serba salah” memposisikan syair sebagai sumber data dan informasi sejarah. Di satu sisi, syair adalah suatu karya seni yang lebih mementingkan unsur keindahan daripada kebenaran. Syair disusun oleh beberapa aspek yang menjadikannya indah, di antaranya adalah imajinasi dan emosi. Di sisi lain, seperti yang disebutkan bahwa syair adalah gambaran nyata kehidupan masyarakat zaman jahiliyah dahulu. Namun demikian, ada hal yang menjadi kesepakatan para ahli sejarah, bahwa khusus untuk syair-syair Arab pra Islam boleh dan bahkan mesti dirujuk untuk dijadikan sumber dalam kajian sejarah. Kajian tentang masyarakat Arab pra Islam tidaklah akan utuh dan sempurna jika tidak merujuk kepada syair-syair Arab pra Islam (Jahiliyah) tersebut.

Ada beberapa hal yang menyebabkan mengapa syair Arab jahiliyah mesti menjadi rujukan sejarah:

1. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa masyarakat Arab pra Islam tidak meninggalkan bukti-bukti tertulis tentang kehidupan mereka zaman itu, seperti halnya bangsa-bangsa lain di dunia. Sebab, mereka tidak mengenal budaya tulis pada zaman itu dan lebih senang dan bangga dengan budaya “oral” dan hafalan. Oleh karena itu, satu-satunya sumber sejarah yang bisa dilacak adalah syair-syair Arab yang beredar di kalangan para perawi syair. Sebab, tradisi riwayat syair sudah mengakar dalam budaya masyarakat Arab semenjak masa lalu. Hal itu disebabkan oleh kekaguman mereka terhadap seni bahasa yang indah dan menjadi kebanggaan bagi setiap orang bila dia bisa menghafal syair-syair penyair kabilahnya, dari generasi ke generasi. Sehingga, masyarakat Arab pra Islam berlomba-lomba untuk bisa menghafal syair para penyair dan meriwayatkannya kepada generasi berikutnya.

2. Para penyair memiliki kedudukan yang sangat tinggi dalam sistem masyarakat bangsa Arab pra Islam. Para penyair dianggap sebagai orang yang memiliki kekuatan supernatural dan mampu mengetahui hal-hal yang gaib. Oleh kerana itulah para penyair mendapat tempat yang terhormat di tengah masyarakat, bahkan dianggap sebagai nabinya suatu kabilah. Sehingga, kata-kata yang diucapkan oleh para penyair, dianggap bukan perkataan yang biasa dan berhak diabaikan saja. Ungkapan para penyair adalah sesuatu yang mesti dihargai dan dijaga. Dengan demikian, khusus untuk syair-syair Arab pra Islam para sejarawan sepakat - sekalipun ada yang tidak setuju seperti Thaha Husein, namun kapasistasnya bukanlah sebagai sejarawan - untuk menjadikannya sebagai sumber sejarah bagi bangsa Arab. Syair Arab pra Islam adalah rekaman dari kehidupan pada zamannya. Berikut, kita akan melihat salah satu aspek kehidupan masyarakat Arab yang digambarkan syair, yaitu aspek agama.

Ada beberapa bentuk keyakinan atau agama yang dianut oleh masyarakat Arab pra Islam. Syair-syair Arab merekam beberapa bentuk keyakinan atau agama masyarakat Arab pra Islam tersebut. Di antaranya, Aliran Thamthamiyah (animisme dan Dinamisme). Keyakinan ini kebanyakan dianut oleh masyarakat Arab yang tinggal di daerah pedalaman. al-Thamtham adalah benda-benda yang sangat dihormati oleh bangsa Arab, yang sebagian besarnya berupa hewan dan tumbuhan. Mereka berkeyakinan, bahwa arwah leluhur dan nenek moyang mereka selalu mengawasi dan menyertai mereka dengan cara berada di dalam jasad binatang atau tumbuhan. Jika mereka meyakini hewan tertentu sebagai tempat bertenggernya arwah nenek moyang mereka, maka hewan tersebut tidak boleh diganggu, disakiti apalagi disembelih.

Begitu juga jika tumbuhan, maka tumbuhan itu tidak boleh ditebang dalam kondisi apapun dan dengan alasan apapun. Mereka berkeyakinan, bahwa jika mereka mengganggu, merusak atau membinasakan binatang atau tumbuhan tersebut, maka bencana besar akan datang menimpa mereka.Sangat terkenal sebuah syair yang mencela bani Hanifah, karena telah memakan buah sebatang korma yang mereka sembah. Hal ini meraka lakukan karena terpaksa, disebabkan masa paceklik dan kelaparan.


أكلت حنيفة ربها زمن التقحم والمجاع
لم يحذروا من ربهم سوء العواقب والتياعة


Bani Abu Hanifah telah memakan tuhannya pada masa paceklik dan kelaparan,Mereka tidak takut akan mendapat azab dan dan siksa yang pedih dari tuhannya.

Bahkan saking besarnya pengaruh kepercayaan ini di kalangan masyarakat Arab, sehingga nama-nama kabilah (suku) di beri nama dengan nama bintang atau tumbuhan. Seperti, bani Asad (singa), bani Fahd (macan), Bani Dhabighah (kuda pacu), Bani Tsur (sapi jantan), bani Zi’bu (srigala), Bani Nasr (elang), bani Hanzhalah (labu) atau juga nama hewan laut seperi Quraisy (singa laut). Bahkan, nama orang sekalipun diberi nama bintang atau tumbuhan, seperti Kilab dan Hanzhalah.

Sebelum kemunculan Islam, di Jazirah Arab muncullah sebuah gerakan keagamaan yang pengikutnya adalah para cendikiawan dan pemikir Arab zamannya. Mereka menjauhkan diri dari penyembahan berhala dan juga tidak iku melakukan ibadah seperti halnya umat Yahudi dan Nashrani. Mereka disebut sebagai kelompok hanif, hunafa’ atau mutahannifin. Penamaan ini dinisbahkan kepada sifat Ibrahim as. seperti yang disebutkan dalam surat al-Baqarah [2]: 135

9$s%ur (#qçRqà2 #·Šqèd ÷rr& 3t»|ÁtR (#rßtGöksE 3 ö@è% ö@t/ s'©#ÏB zO¿Ïdºtö/Î) $ZÿÏZym ( $tBur tb%x. z`ÏB tûüÏ.ÎŽô³ßJø9$# ÇÊÌÎÈ

Dan mereka berkata: "Hendaklah kamu menjadi penganut agama Yahudi atau Nasrani, niscaya kamu mendapat petunjuk". Katakanlah : "Tidak, melainkan (Kami mengikuti) agama Ibrahim yang lurus. dan bukanlah dia (Ibrahim) dari golongan orang musyrik".

Di antara mereka yang terkenal adalah Qis bin Sa’idah, Zaid bin Umar bin Nufail, Umayyah bin Abi Shalt, Suwaid bin Amir, As’ad Abu Karab al-Himyari, Waraqah bin Naufal al-Quraisy, Zuhair bin Abi Sulma dan lain-lain. Merekalah yang berupaya memurnikan keyakinan sebagian masyarakat Arab dari kemusyrikan. Sehingga, pemikiran-pemikiran mereka inilah yang kemudian berpengaruh besar terhadap perubahan keyakinan masyarakat Arab sebelum kedatangan Islam.
Bentuk pemikiran kelompk hanif ini seperti telihat dalam syair Zaid bin Umar berikut:


أربا واحدا أم ألف رب أدين أذا تقسمت الأمور
عزلت اللات والعزى جميعا لذلك يفعل الجلد الصبور
فلا عزى أدين ولا ابنتها ولاصنمي بنى عمرو أزور
ولاغنما أدين وكان ربا لنا فى الدهر إذا حلمي يسير
بأن الله قد أفنى رجالا كثيرا كان شأنهم الفجور
وأبقى آخرين يبر قوم فيربل منهم الطفل الصغير
ولكن أعبد الرحمن ربي ليغفر ذنبي الرب الغفور


Apakah satu Tuhan yang saya sembah atau seribu tuhan, jika urusan telah tebagi,
Saya meninggalkan Latta dan Uza semuanya, begitulah yang dilakukan oleh orang kuat dan sabar,
Saya bukanlah penyembah Uza dan tidak pula kedua anak perempuannya, dan saya tidak juga mengunjungi patung bani Ama,r
Saya tidak pula menyembah kambing, karena kami memiliki Tuhan sepanjang masa semenjak masih bayi.
Allah telah membinasakan berapa banyak tokoh dan manusia, akibat dosa dan kejahatan yang mereka lakukan,
Kemudia Dia meninggalkan kelompok yang berbuat baik, lalu tumbuh lagi genarasi baru dari mereka,

Saya pasti menyembah Tuhan Yang Penyayang, agar Tuhan ku yang Maha Pengampun mengampuni dosaku.[1]

B. Al-Qur’an dan Sastra Arab Jahiliyah

Oleh: Wildan Taufiq

Al-Qur’an, turun dalam situasi di mana bahasa dan sastra Arab (jahiliyah) mencapai puncak kejayaan. Al-Qur’an tampil dengan berbahasa Arab, agar dapat dipahami oleh manusia pada waktu itu (Q.S. Yusuf:2). Para penyair ketika itu memiliki kedudukan yang sangat terhormat pada setiap kabilah, karena mereka dianggap sebagai penjaga martabat serta kehormatan kabilahnya. Dengan begitu mereka disanjung-sanjung setinggi langit oleh kabilahnya (Farukh, 1997: I: 75-76).

Perang pena antara penyair antar kabilah, telah membawa mereka kepada sebuah kompertisi syair yang di selenggarakan di suatu pasar yang disebut Ukazh (al-Iskandari & ‘Inaniy, tth: 12). Dari perang pena yang terjadi di Ukazh, lahirlah karya-karya sastra luhung yang lebih dikenal dengan sebutan “mu’allaqat”. Disebut mu’allaqat, karena syair yang terpilih menjadi yang terbaik – konon katanya – akan digantungkan di dinding ka’bah dan ditulis dengan tinta mas (Farukh, 1997: I: 75).

Syair jahiliy berkembang di masyarakat pedalaman (badiyah) Arab. Dengan begitu syair-syairnya merupakan gambaran kehidupan masyarakat pedalaman (al-hayat al-badawiyyah), yaitu hanya berbicara sekitar unta (al-jamal) dan puing-puing (al-thalal). Sedikit sekali yang menggambarkan susana kekotaan (hadhar), seperti al-A’sya dan Nabighah yang pernah mengunjungi negeri Persia, Iraq dan Syam (Farukh, 1997: I: 76).

Ada beberapa tujuan yang terkandung dalam syair-syair jahiliy, yaitu, nasib (Penggambaran perempuan dengan segala keindahannya), washf (pelukisan sesuatu), madah (pujian), Ratsa (ratapan), hija (cemoohan atau ejekan), i’tidzar (Pledoi), matsal dan hikmah (Kata-kata bijak dan Pribahasa) (al-Iskandari & ‘Inaniy, tth: 46-50).
Pada abad berikutnya, tepatnya pada masa dinasti Umayah, seorang ulama Basrah yang mencoba merumuskan irama musik (wazan) syair Arab, termasuk syair jahili ke dalam notasi-notasi (taf’ilah) yang kemudian disebut dengan ilmu “Arudh dan Qawafiy”(Wajdiy, tth: III: 781).

Rumusan al-Farahidy inilah yang sampai sekarang dijadikan ciri pembeda antara syair jahiliy dengan yang lainnya termasuk Al-Qur’an, dari segi irama. Kaidah-kaidah itu disajikan dengan sangat ketat. Sehingga seseorang dengan kaidah-kaidah tersebut dapat mengetahui mana syair yang benar dan mana yang salah. Kaidah-kaidah ini membawa syair-syair Arab kepada suatu definisi yang diberikan oleh para kritikus sastra terhadap yaitu perkataan yang berwazan dan berqafiyah. (Hamid, 1995: 192). Demikian karakteristik syair Arab jahiliyah secara umum, baik dari segi isi maupun bentuk.

Al-Qur’an tentunya bukanlah syair jahiliy. Namun dari sisi irama (baca: gaya bahasa), barangkali ada beberapa ayat-ayat al-Qur’an yang mirip syair Arab jahili, sehingga banyak orang-orang pada waktu itu (terutama kafir Quraisy) menganggap al-Qur’an adalah syair dan menganggap Muhammad sebagai penyair (QS. Al-Anbiya:5, al-Shafat:36).

ö@t/ (#þqä9$s% ß]»tóôÊr& ¥O»n=ômr& È@t/ çm1uŽtIøù$# ö@t/ uqèd ֍Ïã$x© $uZÏ?ù'uŠù=sù 7ptƒ$t«Î/ !$yJŸ2 Ÿ@Åöé& tbqä9¨rF{$# ÇÎÈ

Bahkan mereka Berkata (pula): "(Al Quran itu adalah) mimpi-mimpi yang kalut, malah diada-adakannya, bahkan dia sendiri seorang penyair, Maka hendaknya ia mendatangkan kepada kita suatu mukjizat, sebagai-mana rasul-rasul yang Telah lalu di-utus".

tbqä9qà)tƒur $¨Zͬr& (#þqä.Í$tGs9 $oYÏGygÏ9#uä 9Ïã$t±Ï9 ¥bqãZøg¤C ÇÌÏÈ

Dan mereka berkata: "Apakah Sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami Karena seorang penyair gila?"

Anggapan bahwa al-Qur’an adalah syair, barangkali bisa dipahami. Mereka masih menganggap bahwa al-Qur’an merupakan aforisme-aforisme yang memiliki daya magis tinggi yang dapat menggetarkan hati siapa saja yang mendengarnya, layaknya sebuah syair. Bantahan terhadap hal itu datang dari salah seorang sarjana Barat yang sangat serius dalam kajian Al-Qur’an, yaitu Ricahard Bell. Ia mengemukakan hasil risetnya yang dikutif Montgomery Watt (1995: 109) sebagai berikut:

“Di dalam Al-Qur’an tidak terlihat upaya untuk menghasilkan gaya bersajak tersebut. Dalam syair Arab, setiap bait harus berujung dengan konsonan (huruf/bunyi mati) atau konsonan-konsonan yang dikelilingi oleh vokal (bunyi hidup) yang senada. Penukaran bunyi i ke u diperbolehkan, meski hal ini dianggap sebagai kelemahan. Bunyi nada vokal pendek yang mengikuti konsonan-rima lazimnya dipertahankan dan jika dipertahankan, maka akan dibunyikan panjang dipenghujung bait.

Yang dapat ditemukan di dalam kitab suci ini lebih merupakan purwakanti , di mana perubahan nada vokal pendek pada penghujung suatu ayat dikesampingkan; dan untuk sisanya , vokal-vokal –terutama panjangnya- serta jatuhnya aksen –yakni bentuk kata akhir ayat- lebih dipentingkan daripada konsonan-konsonan.”

Lebih lanjut, Bell menegaskan bahwa kebanyakan surat Al-Qur’an terbagi ke dalam bagian-bagian atau alinea-pendek pendek. Namun panjang bagian atau alinea ini tidak baku, dan tidak pula terlihat mengikuti suatu pola panjang. Panjangnya bagian atau alinea tidak ditentukan oleh pertimbangan bentuk apa pun, tetapi oleh pokok bahasan atau peristiwa.

Dalam syair jahiliyah terdapat banyak syair yang berisi penggambaran binatang termasuk lembu. Salah seorang penyair jahiliy yang syairnya digantung di dinding Ka’bah (mu’allaqat), Lubaigd bin Rabi’ah telah menggambarkan lembu dalam syairnya sebagai berikut:

ü Lembu liar itu telah menyia-nyiakan anaknya, sehingga ia diterkam binatang buas. Maka oleh karena itu ia sering berkeliling-keliling, mondar-mandir di tanah keras itu, dari ujung sana ke ujung sana, mencari-cari anaknya dengan lenguhannya yang parau.

ü Lembu itu sungguh-sungguh mencari anaknya yang hilang itu. Maka ia menjatuhkan dirinya di atas tanah berguling-guling. Maka ketika itu, sekonyong-konyong datanglah serigala.

ü Serigala itu langsung menerkamnya, karena lembu itu sedang lalai. Lalu lembu itu berkata: “Sesungguhnya anak-anak panah kematian tidak akan meleset dari bidikannya.”

ü Lembu itu bermalam dalam guyuran huhjan yang lebat. Yang membuat pasir-pasir dapat menumbuhkan pepohonan.

ü Sekujur badannya diguyur oleh hujan yang tak henti-hentinya, di malam yang bintang-bintangnya disaput awan.

ü Ia berlindung di bawah batang-batang pohon dari dingin dan hujan. Yang mana sebetulnya batang-batang itu tak mampu mengusir hawa dingin yang yang menembus tulang sumsumnya, dan tidak pula dapat menahan dari hembusan pasir padanya.

ü Lembu itu bercahaya di malam hari, laksana mutiara seorang pelaut yang baru dibuka dari kulit kerangnya.

ü Sehingga tatkala kegelapan malam sirna dan mentari bersinar, ia bangkit dari tempat berlindungnya. Tapak-tapak kakinya masih membekas pada tanah karena guyuran hujan semalam.

ü Ia sangat bersedih dan bingung, ke mana ia harus mencari anaknya. Tujuh hari-tujuh malam ia terus-menerus mencari anaknya itu (Zuzani, tth: 143-147).

Pada bait-bait di atas, tampak bahwa Lubaid sang penyair hanya menyajikan romantika kehidupan binatang yang saling memakan. Lalu dengan imajinasinya, ia melukiskan si induk binatang yang anaknya telah hilang diterkam binatang lain, bertingkah seperti manusia yang memiliki perasaan. Syair-syair di atas jelas merupakan pelukisan romantisme si penyair terhadap peristiwa-peristiwa yang menimpa lembu.

Alqur'an Berbeda dengan syair Arab di atas, penggambaran Al-Qur’an tentang lembu adalah sebagai berikut:
(Dan ingatlah, ketika Musa berkata kepada kaumnya:”Sesungguhnya Allah menyuruh kaum menyembelih seekor sapi betina”. Mereka berkata:”Apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan?” Musa menjawab:”Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil. Mereka menjawab:”Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami, agar Dia menerangkan sapi betina apakah itu.” Musa menjawab:”Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu; maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Mereka berkata:”Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami apa warnanya”. Musa menjawab:”Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang kuning tua warnanya, lagi menyenangkan orang-orang yang memandangnya. Mereka berkata:”Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami bagaimana hakikat sapi betina itu,
karena sesungguhnya sapi itu masih samar bagi kami dan sesungguhnya kami insya Allah akan mendapat petunjuk (untuk memperoleh sapi itu. Musa berkata:”Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk membajak tanah dan tidak pula untuk mengairi tanaman, tidak bercacat, tidak ada belangnya.” Mereka berkata:”Sekarang barulah kami menerangkan hakikat sapi betina yang sebenarnya”. Kemudian mereka menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak melaksanakan perintah itu ) (Q.S. al-Baqarah:67-71).

Kutipan ayat-ayat di atas menggambarkan posisi sapi atau lembu itu dalam kehidupan manusia. Sapi itu ditampilkan, sebagai suruhan Allah untuk disembelih, agar mereka tidak menyembah lagi sapi. Ini menyiratkan suatu perintah untuk bertauhid dan tidak berbuat menyekutukan-Nya. Walau penggambaran secara detail tentang sifat-sifat sapi, itu hanya atas permintaan mereka (orang-orang Yahudi) supaya tentu spesifikasinya. Namun sikap tersebut dilarang, karena akan mencelakakan si penanya. Hal itu terbukti dengan apa yang menimpa pada kaum Yahudi selanjutnya.

Teks syair jahiliy tentang lembu, sebagai teks refensi telah diubah secara total oleh teks al-Qur’an yang datang kemudian. Lembu yang tadinya berada dalam deskripsi imajinatif belaka dalam syair jahiliy, kemudian diubah oleh teks al-Qur’an posisinya ke deskripsi etika-religius kemanusiaan.

Walau demikian, ada penyair lain, yaitu Lubaid bin Rabi’ah, menggambarkan unta dari segi fungsinya, namun lagi-lagi, ia pun –dalam penggambarannya- lebih tidak menekankan pada aspek unta yang memiliki manfaat bagi manusia, tetapi lebih pada sensualitas wanita yang muncul karena melihat unta. Dengan kata lain, ia lebih mengutamakan “kesenangan” daripada realitas.

ü Unta itu membangkitkan rindumu terhadap wanita-wanita kabilah, ketika beberapa kelompok dari mereka masuk haudah dari katun.

ü Wanita-wanita itu diangkut oleh unta, bagaikan lembu betina liar di atas unta tersebut.

Sedang Al-Qur’an melukisakan unta dalam beberapa konteks:

1) Konteks hukum, seperti ayat berikut:

(Dan sepasang dari unta dan sepasang dari lembu. Katakanlah:”Apakah dua yang jantan yang diharamkan ataukah dua yang betina, ataukah yang ada dalam kandungan dua betinanya. Apakah kamu mennyaksikan di waktu Allah menetapkan ini bagimu? Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang berbuat-buat dusta terhadap Allah untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan?”. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim).(Q.S. al-an’am:144)

2) Konteks penciptaan, seperti ayat berikut:

(Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan? Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi, bagaimana ia dihamparkan?). (Q.S. al-Ghasyiyah: 17-20)

3) Konteks ancaman bagi para pendusta ayat-ayat Allah dan sombong atasnya.

(Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan tidak (pula) mereka masuk surga, hingga unta masuk ke dala lobang jarum. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat kejahatan). (al-A’rf:40)

Dari ketiga konteks di atas, nampak jelas, bahwa Al-Qur’an dalam melukisakan fenomena unta dalam tataran “realitas” sosial religius. Tak ragu lagi ketiga konteks di atas lahir dari pertimbangan akal sehat, bukan nafsu dan kesenangan.

Dalam ayat pertama (konteks hukum), Allah tidak menurunkan hukum kepada manusia dengan aturan-aturan yang sulit, tetapi memberikan kemudahan dan keleluasaan. Aturan yang dipermudah itu dilandaskan pada pertimbangan akal sehat manusia agar dapat diterima dengan baik. Pemilihan baik dan buruk bukan dengan hawa nafsu, karena nafsu hanya akan membawa kepada kesesatan dan kejahatan.

Dalam ayat kedua (konteks penciptaan), Allah menyuruh untuk merenungkan proses dan sumber penciptaan unta. Ini menunjukan bahwa Allah lewat Qur’an mengajak manusia menggunakan akalnya untuk memikirkan realitas di sekitarnya, kendati hal yang dianggap sepele dan biasa seperti unta.

Konteks ketiga (ancaman), Allah menggambarkan unta dalam perumpamaan yang berfungsi sebagai ancaman bagi umat-Nya yang mendustakan ayat-ayat-Nya dan bersikap sombong atasnya. Perumpamaan yang dibuat tidak sekedar perumpamaan biasa tetapi memiliki fungsi yang sangat kuat dalam menggambarkan ancaman.[2]

PENUTUP

  1. Kesimpulan

Aspek kehidupan agama masyarakat Arab pra Islam yang digambarkan oleh syai-syair Arab masa itu. Agaknya, hal itu menjadi bukti betapa syair tidak boleh dikesampingkan ketika kita menguraikan sejarah suatu bangsa, khsusnya ketika kita berbicara kehidupan masyarakat Arab pra Islam. Jika kita berbicara sejarah mereka, tentulah syair sesuatu yang mesti dirujuk agar gambaran sejarah tentang masyarakat Arab zaman itu bisa lebih utuh dan menyeluruh.

“Di dalam Al-Qur’an tidak terlihat upaya untuk menghasilkan gaya bersajak tersebut. Dalam syair Arab, setiap bait harus berujung dengan konsonan (huruf/bunyi mati) atau konsonan-konsonan yang dikelilingi oleh vokal (bunyi hidup) yang senada. Penukaran bunyi i ke u diperbolehkan, meski hal ini dianggap sebagai kelemahan. Bunyi nada vokal pendek yang mengikuti konsonan-rima lazimnya dipertahankan dan jika dipertahankan, maka akan dibunyikan panjang dipenghujung bait. Hanya dalam kasus-kasus yang luar biasa sajalah barangkali ditemukan jenis rima semacam ini (di dalam Al-Qur’an). Yang dapat ditemukan di dalam kitab suci ini lebih merupakan purwakanti , di mana perubahan nada vokal pendek pada penghujung suatu ayat dikesampingkan; dan untuk sisanya , vokal-vokal –terutama panjangnya- serta jatuhnya aksen –yakni bentuk kata akhir ayat- lebih dipentingkan daripada konsonan-konsonan.”
Lebih lanjut, Bell menegaskan bahwa kebanyakan surat Al-Qur’an terbagi ke dalam bagian-bagian atau alinea-pendek pendek. Namun panjang bagian atau alinea ini tidak baku, dan tidak pula terlihat mengikuti suatu pola panjang. Panjangnya bagian atau alinea tidak ditentukan oleh pertimbangan bentuk apa pun, tetapi oleh pokok bahasan atau peristiwa.
Dari segi isi, -jika asumsi di atas diterima-, apakah kandungan al-Qur’an sama dengan kandungan syair jahiliy? Ataukah berbeda sebagaimana bentuknya hasil penelitian Bell di atas? Di sini saya akan mencoba membandingkan al-Qur’an dan syair jahiliy dalam suatu tema yang sederhana, yaitu lembu dan unta. Dengan kata lain, bagaimana al-Qur’an dan syair jahiliy mendeskripsikan kedua tema tersebut? Tema ini diambil karena seperti telah dikemukakan di atas, banyak dijadikan objek estetika syair jahiliy, dan juga terdapat dalam al-Qur’an, yaitu yang pertama sebagai salah satu nama surat (al-baqarah) dan satu lagi hanya menjadi bahasan di dalam surat.

  1. Kritikan

Dari isi makalah ini mungkin ada kesalahan baik dari bentuk penyajiannya,penulisannya,bahkan isinya mungkin kurang memuaskan, kami minta kritikan kepada para pembaca semua agar bisa membangun untuk kebaikan kita semua kedepannya. Dan kami sebagai penulis mengakui dengan keterbatasan ilmu yang kami miliki.

  1. Saran

Saran kami sebagai pemakalah muda-mudahan kita semua dapat mengerti terhadap apa-apa yang kami jelaskan dimakalah ini, tentang topik-topik yang kami utarakan diatas.

PENDAHULUAN

الحمد لله رب العلمين والصلاة والسلام على نبينا الكريم محمد صلى الله عليه وسلم الذي قد أخرج الناس من الظلمات إلى النور وأرشدهم إلى صراط المستقيم وعلى آله وأصحابه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين. أشهد أن لا إله إلا الله وأشهد أن محمدا رسول الله.

Puji syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah Swt,atas segala limpahan rahmatNya kepada kita bersama sehingganya kita bisa beraktifitas sehari-hari, dan dengan rahmat tersebut penulis bisa menyelesaikan makalah ini.

Shalawat berangkaikan salam senantiasa kita curahkan kepada nabi besar Muhammad Saw, yang telah bersusah payah membawa kita dari alam jahiliyah menuju alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan seperti yang kita rasakan pada saat sekarang ini.

Alqur'an adalah kalamullah yang diturunkan kepada nabi muhammad SAW, melalui perantara malaikat jibril untuk pedoman dalam menjalankan kehidupan oleh manusia yang dimulai dari surat alfatihah dan diakhiri oleh surat an-nas.

Syair sebagaimana yang dikatakan oleh M.Atar Semi, adalah karya seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya. Dengan ungkapan lain, bahwa syair adalah gambaran nyata tentang kehidupan masyarakat zaman jahiliyah. Syair pada hakikatnya menggambarkan berbagai macam aspek kehidupan; sosial, budaya, ekonomi, politik, gaya berfikir serta agama dan kepercayaan masyarakatnya.

Al-Qur’an, turun dalam situasi di mana bahasa dan sastra Arab (jahiliyah) mencapai puncak kejayaan. Al-Qur’an tampil dengan berbahasa Arab, agar dapat dipahami oleh manusia pada waktu itu (Q.S. Yusuf:2). Para penyair ketika itu memiliki kedudukan yang sangat terhormat pada setiap kabilah, karena mereka dianggap sebagai penjaga martabat serta kehormatan kabilahnya. Dengan begitu mereka disanjung-sanjung setinggi langit oleh kabilahnya (Farukh, 1997: I: 75-76).

Ada beberapa bentuk keyakinan atau agama yang dianut oleh masyarakat Arab pra Islam. Syair-syair Arab merekam beberapa bentuk keyakinan atau agama masyarakat Arab pra Islam tersebut. Di antaranya, Aliran Thamthamiyah (animisme dan Dinamisme). Keyakinan ini kebanyakan dianut oleh masyarakat Arab yang tinggal di daerah pedalaman. al-Thamtham adalah benda-benda yang sangat dihormati oleh bangsa Arab, yang sebagian besarnya berupa hewan dan tumbuhan. Mereka berkeyakinan, bahwa arwah leluhur dan nenek moyang mereka selalu mengawasi dan menyertai mereka dengan cara berada di dalam jasad binatang atau tumbuhan. Jika mereka meyakini hewan tertentu sebagai tempat bertenggernya arwah nenek moyang mereka, maka hewan tersebut tidak boleh diganggu, disakiti apalagi disembelih.

Perang pena antara penyair antar kabilah, telah membawa mereka kepada sebuah kompertisi syair yang di selenggarakan di suatu pasar yang disebut Ukazh (al-Iskandari & ‘Inaniy, tth: 12). Dari perang pena yang terjadi di Ukazh, lahirlah karya-karya sastra luhung yang lebih dikenal dengan sebutan “mu’allaqat”. Disebut mu’allaqat, karena syair yang terpilih menjadi yang terbaik – konon katanya – akan digantungkan di dinding ka’bah dan ditulis dengan tinta mas (Farukh, 1997: I: 75).

Dari beberapa gambaran diatas, pemakalah akan menjelaskan dalam makalah ini tentang kedatangan alqur'an dan sastra( syair ) jahiliyah, dan bahasa kuraisy.

No comments:

Post a Comment