Monday 25 April 2011

Memindahkan Garis Footnote dari kiri ke Kanan

Sangat banyak pertanyaan dari teman-teman saya, khusunya dari mahasiswa yang mengambil jurusan bahasa arab, mereka menulis skripsi mereka menggunakan bahasas arab juga.

Untuk memberikan footnote pada skripsi mereka pada umumnya sudah bisa melakukannya, namun ternyata ada satu permasalahan yang membaut mereka sering tersandung dalam penulisan footnote, yaitu memindahkan garis yang ada di footnote dari sebelah kiri ke sebelah kanan,

Karena tulisan berbahasa arab dimulai dari kanan kea rah kiri, maka garis footnotenya juga harus dari kanan ke kiri..

Setelah sekian lamanya mengotak atik MS- word akhirnya alhamdulilah saya temukan juga caranya, cayanya seperti berikut ini :

1. Sediakan file ketikan yang akan di beri footnote seperti di bawah ini

2. Berilah footnote seperti yang biasa kita lakukan dengan memilih References >> Insert Footnote.

3. Setelah footnote terbentuk, lalu pilih Draft
yang berda di sudut sebelah kanan bawah dari tampilan MS-Word anda seperti berikut ini

Setelah itu akan tampil di layar seperti berikut ini

4. Setelah itu klik kembali Insert Footnote (seperti kita memasukkan footnote pertama kali tadi) maka akan tampil di layar seperti berikut ini :

5. Setelah tampil kemudian pilih tanda panah yang terdapat di All Footnotes kemudian pilih

Footnote Saparator

Kemudian akan tampil gambar seperti berikut :

6. Setelah itu pilih home kemudian plih Right-to-Left text Direktion

8. Setelah itu secara otomatis maka gari footnote kita akan berpindah ke sebelah kanan seperti berikut :


9. Setelah itu kita kembalikan format MS – Word kita seperti semula dengan cara memilih Print Layout, yang terdapat di sebelah kanan bawah dari MS-Word kita :

maka MS-word kita akan kembali seperti semula. Lihatlah garis footnote kita akan berobah secara otomatis ke sebelah kanan seperti berikut ini,


Seperti inilah hasil akhirnya:


semoga bermanfaat,,,,

ternyata menulis di blog itu lama juga ya,,, lumayan capek,, tapi ngak pa2lah .. asalkan nantinya bisa bermanfaat bagi orang lain biarlah capek2 dikit,.,,,


bagi pembaca mohon ditinggalkan sepatah tau dua patah kata ya,,,, terimakasih :D

selamat belajar..




memindahkan garis footnote dari kanan ke kiri.doc

Hukum Suami Meminum ASI Istri

Dalil-Dalil Bahwa Orang Yang Menyusu Itu Menjadi Mahram Bagi Wanita Yang

Oleh :

Rian Mirza

Menyusui

a. Firman Allah

وَأُمَّهَاتُكُمُ الاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُم مِّنَ الرَّضَاعَةِ

Dan ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara perempuan sepersusuan”(QS. An-Nisaa`: 23)

Maka apabila ada seorang anak menyusu kepada seorang wanita sedang umurnya masih di bawah 2 (dua) tahun, maka jadilah wanita tersebut ibu dari sang anak atau yang disebut dengan ibu susuan. Sehingga ia boleh berkhalwat (berduaan) dengan sang wanita itu dan diharamkan atas mereka berdua untuk menikah. Maka anak-anak dari anak yang menyusu itu adalah cucu dari wanita tersebut, dan ibu dari wanita itu menjadi nenek bagi anak-anak tersebut. Saudara laki-laki wanita tersebut menjadi pamannya dan saudara perempuannya menjadi bibi bagi mereka. (An-Nawawi, vol. 19 hal. 314).

b. Hadits Nabi

Dari `Aisyah ra. Nabi bersabda:

يُحْرَمُ مِنَ الرَّضَاعَةِ مَا يُحْرَمُ مِنَ الْوِلَادَةِ (حديث صحيح اخرجه مالك والشافعي)

Diharamkan dari persusuan sebagaimana diharamkannya dari -sebab- kelahiran.” (Hadits shahih diriwayatkan Malik dan Syafi`i).

Dan dalam riwayat bahwa Nabi saw ditawari menikahi anak perempuan dari shahabat Hamzah bin Abdul Muthalib, maka Baliau saw bersabda, “Sesungguhnya dia (wanita) itu anak perempuan dari saudara sesususanku (Hamzah), dan sesungguhnya telah diharamkan dari sebab persusuan sebagaimana diharamkannya dari sebab nasab”. (HR. Muslim). (An-Nawawi, vol. 19 hal. 314).

Tidak Dikatakan Menyusui Apabila Umurnya Di Atas 2 (Dua) Tahun

Imam Nawawi di dalam kitabnya “Al-Majmu`” berkata, “Tidak menjadi haram lantaran menyusui bila umurnya di atas dua tahun”. Pendapat beliau didasarkan pada firman Allah:

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ

Artinya : “Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan”. (QS. Al-Baqarah: 233).

Dalam atsar dari Ibnu Mas`ud Radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Asy-Syafi`i dalam kitab Al-Umm, dari Malik, dari Yahya bin Sa`id, “Bahwasanya Abu Musa berkata; ‘Aku tidak mengatakan tentang menyusunya seorang yang telah besar kecuali haram hukumnya’. Maka Ibnu Mas`ud berkata, ‘Telitilah dulu apa yang telah engkau fatwakan kepada orang ini’. Abu Musa berkata lagi, ‘Lalu apa yang anda katakan?’. Jawab Ibnu Mas`ud, ‘Tidak dikatakan menyusui kecuali bila di bawah dua tahun’. Lalu Abu Musa berkata, ‘Tidak dikatakan menyusui kecuali bila di bawah dua tahun.’ Lalu Abu Musa berkata, ‘Janganlah kalian bertanya kepadaku selama tinta ini (Ibnu Mas`ud) ada diantara kalian.’” )HR. Asy-Syafi`i di dalam Al-Umm 5/49, Malik 2/117, Al-Baihaqi 7/462).

Dari Ibnu Mas`ud Radhiyallahu ‘anhu diriwayatkan oleh Said bin Manshur dari Hasyim dari Mughiroh dari Ibrahim dari Abdullah, berkata: “Tidak dikatakan menyusui kecuali pada umur kurang dari dua tahun. ”Ibnu `Abbas Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Tidak dikatakan menyusui jika telah genap (umurnya) dua tahun, maka jika telah lebih dari dua tahun tidaklah ada hukum.” (Al-Baihaqi 7/462).

Dalam hadits `Aisyah Radiyallahu Anha, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, ‘Tidak menjadikan haram satu atau dua sedotan.’” (HR. Muslim (1158)).

Dalam riwayat lain Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lihatlah siapa saudara-saudara kalian (istri Nabi), karena persusuan itu karena lapar.” (Muttafaq `Alaih (1159).

Sesungguhnya persususan yang menjadikan terjadinya keharaman (nikah) dan halalnya berkhalwat adalah persusuan yang bisa menjadikan kenyang dari kelaparan bagi seorang anak kecil. Jadi tidaklah dikatakan persusuan yang mengharamkan dari pernikahan kecuali jika hal itu bisa mengenyangkan dari rasa lapar (dan inilah yang masyhur) sehingga dengan begitu akan bisa menumbuhkan daging. Dan dalam hadits Ibnu Mas`ud Radhiyallahu ‘anhu dikatakan, “Tidaklah dikatakan persusuan kecuali jika (bisa) menumbuhkan tulang dan daging.” (Ibanatul Ahkam, 3/440).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang seorang lelaki yang membersihkan matanya dari debu dengan air susu istrinya, apakah istrinya menjadi haram jika air susu itu masuk ke dalam perutnya? Dan dalam kesempatan lain beliau ditanya tentang seorang suami yang suka bercumbu dengan istrinya sehinnga ia biasa menghisap payudara istrinya, apakah ia (istrinya) menjadi haram atasnya?

Maka untuk yang pertama Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjawab bahwa hal itu boleh, dan istrinya tidak menjadi haram atasnya, hal itu dilihat dari dua segi. Pertama, karena suami sudah dewasa, dan jika orang yang sudah dewasa apabila ia menghisap payudara istrinya atau wanita lain maka tidaklah berlaku hukum keharaman karena sebab persusuan, hal ini sebagaimana pendapat imam yang empat dan jumhur `ulama. Dan juga hal itu dikuatkan oleh hadits `Aisyah dalam permasalahan Salim yang menyusu kepada seorang wanita. Kedua, sampainya air susu di mata tidaklah berlaku keharaman karena sebab persusuan.

Sabda Rasulullah saw, ”Sesungguhnya susuan itu hanyalah yang mengenyangkannya dari rasa lapar.” (HR. Bukhori Muslim) artinya susu yang diminumnya itu mengenyangkannya dan ia tidak memiliki makanan selainnya. Tentunya orang yang sudah dewasa tidaklah termasuk didalamnya terlebih lagi hadits ini menggunakan kata-kata hanyalah. (al Fiqhul Islami wa Adillatuhu juz IX hal 6637 – 6638)

Dengan demikian air susu istri yang tertelan oleh suaminya saat berhubungan tidaklah menjadikannya haram untuk berhubungan dengannya, tidak pula menjadikannya sebagai anak dari istrinya itu serta tidak pula berpengaruh apa-apa terhadap pernikahan mereka.

Pada masa-masa haidh dan nifas pun hal itu tetap diperbolehkan bagi kedua pasangan tersebut, sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Haram bin Hakim dari pamannya bahwa dia bertanya kepada Rasulullah saw,”Apa saja yang dihalalkan bagiku terhadap istriku pada saat dia haidh?’ beliau saw menjawab,’Bagimu apa yang berada diatas sarung..” (HR. Abu Daud)

Hadits terebut memerintahkan bagi suami yang ingin menggauli istrinya pada saat haidh adalah pada bagian diatas pusar karena dikhawatirkan akan terjadi persetubuhan pada kemaluannya jika apa yang dibawah pusar juga diperbolehkan terutama bagi mereka yang tidak bisa mengendalikan gejolak syahwat didalam dirinya, sebagaimana sabda Rasulullah saw,”Maka barangsiapa yang mengitari daerah larangan maka dikhawatirkan ia akan jatuh kedalamnya.” (HR. Bukhori Muslim)

Namun apabila dia mampu mengendalikan gejolak syahwat didalam dirinya dan meyakini apabila dia ‘bermain’ dengan yang dibawah pusar atau bahkan diantara dua paha serta tidak jijik dengan bercak-bercak darah yang mungkin terlihat disekitar kemaluan istrinya maka hal itu diperbolehkan selama tidak memasukkan kemaluannya kedalam kemaluan istrinya, sebagaimana hadits Rasulullah saw,”Pebuatlah sesuai kehendakmu kecuali nikah (memasukkan kemaluanmu kedalam kemaluan istrimu).” (Hr Muslim dan Abu Daud)

Menyentuh, mencium atau menyedot puting susu istrinya hingga menelan air susunya adalah bagian daripada ‘bermain-main’ didalam bersetubuh seperti halnya terhadap bagian-bagian tubuh lainnya yang dapat menambah kenikmatan bagi kedua pasangan itu sehingga tidaklah ada larangannya. Karena itu semua termasuk didalam batas-batas yang diperbolehkan selama tidak pada duburnya.

Dari Abu Yusuf berkata, ”Aku pernah bertanya kepada Abu Hanifah tentang seorang yang memegang kemaluan istrinya dan istrinya menyentuh kemaluan suaminya untuk bergerak-gerak diatas kemaluannya apakah menurutmu ini tidak boleh?

Abu Hanifah menjawab, ”Boleh, dan aku berharap hal itu dapat menambah pahala yang merupakan investasi baginya.” (Roddul Mukhtar juz 26 hal 388

Dan untuk soal yang kedua, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjawab, “Menyusunya (suami kepada istrinya) tidak menjadikan istrinya haram atasnya karena sebab persusuan. (Ibnu Taimiyyah, vol. 3 hal. 162).

Dalam kitab Al-Mughni disebutkan bahwa dari syarat berlakunya hukum keharaman (untuk nikah) lantaran sebab persusuan adalah pada masa “haulani”, yakni kurang dari dua tahun. (Ibnu Qudamah, vol. 1 hal. 319). Ini adalah pendapat kebanyakan ahli ilmu, semisal shahabat `Umar, `Ali, Ibnu `Umar, Ibnu `Abbas, Ibnu Mas`ud, dan Abu Hurairah, serta sederetan dari istri-istri Nabi saw kecuali `Aisyah ra. Adapun `ulama yang sependapat (dengan `ulama-`ulama dari kalangan shahabat) dari thabi`in seperti Asy-Sya`bi, Al-Auza`i, Asy-Syafi`i, Ishaq, Abu Yusuf, dan lain-lain. Dalam riwayat Malik dikatakan, “Hukumnya sama meskipun lebih satu atau dua bulan dari batasan waktu ‘haulani’ (dua tahun). Ibnul qashim meriwayatkan dari Malik bahwa ia berkata, “Persusuan itu (waktunya) pada dua tahun atau dua bulan selanjutnya.” (Al-Qurthubi, vol. 3 hal. 162).

Adapun `Aisyah dan `ulama-`ulama lain seperti Atha`, Al-Laist, Dawud Azh-Zhahiri, dan lain-lain, mengatakan bahwa menyusunya orang yang sudah besar itu menjadi penyebab keharaman (Ibnu Qudamah, vol. 11 hal. 318). Artinya apabila ada seorang wanita bukan mahram kemudian menyusui seorang laki-laki yang sudah dewasa maka ia akan menjadi mahram lantaran persusuan itu. Pendapat ini berdasar ayat 33 dari surat An-Nisaa` dan juga sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Sahlah binti Suhail, ia berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami telah menganggap Salim sebagai anak, ia tinggal bersamaku dan Abu Hudzaifah (suaminya) dalam satu rumah. Ia (Salim) telah melihatku dengan pakaian kerja (bukan jilbab) ……apa pendapatmu? Jawab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Susuilah dia’. (Dalam riwayat lain dikatakan, ‘Susuilah dia agar menjadi mahrammu’). Maka ia pun menyusuinya dengan lima sususan, sehingga jadilah ia sebagai anak susuannya”. Maka dari hadits tersebut `Aisyah memerintahkan anak-anak wanita dari saudara-saudara perempuan dan anak-anak wanita dari saudara-saudara laki-lakinya untuk menyusui siapa saja yang ia (`Aisyah) ingin, (diperbolehkan) untuk melihatnya dengan lima susuan meskipun orang itu sudah besar. Namun hal itu diingkari oleh Ummu Salamah dan juga sederet istri-istri Nabi saw…… lalu mereka (istri-istri Nabi) berkata kepada `Aisyah, “Demi Allah kami tidak tahu, mungkin hal itu dikhususkan oleh Rasulullah bagi Salim, tidak untuk yang lain.” (HR. Nasa`i dan Abu Dawud).

Namun dalam hal ini ada pendapat, yang hal ini dikuatkan atau dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yaitu, ”Persusuan itu yang mu`tabar (diakui) hanya bagi anak kecil, kecuali jika ada udzur yang benar-benar syar`i, seperti menyusunya orang yang sudah besar yang tidak mungkin lagi untuk menghindar dari ikhtilath dengan wanita itu, atau wanita sangat sulit berhijab darinya”. Dalam kasus di atas, bahwa Salim adalah bekas budak dari suami wanita itu (Sahlah binti Suhail).

Pendapat inilah yang mungkin bisa menggabungkan dari dua pendapat di atas, yaitu pendapat yang mengatakan bahwa menyusui orang yang sudah besar itu tidak ada hukum dan pendapat yang mengatakan bahwa menyusui orang yang sudah besar itu sebagaimana menyusui anak kecil. (Nailul Author).

Berapa Kadar Penyusuan Yang Menimbulkan Hukum

Dalam hal ini terdapat banyak perselisihan, yaitu:

Pertama, bahwa yang menjadikan keharaman (untuk menikah) dari sebab persusuan yaitu apabila kadarnya tiga atau lebih. Pendapat ini diwakili oleh Dawud Azh-Zhahiri, Ibnu Mundzir, Abu Ats-Tsauri dan segolongan `ulama-`ulama lainnya, mereka berpendapat dengan dasar hadits Nabi saw:

لَاتُحْرَمُ الْمِصَّةُ وَالْمِصَّتَانِ (أخرجه مسلم)

Tidaklah mengharamkan satu atau dua sedotan.” (HR. Muslim).

Kedua, baik sedikit atau banyak tetap menjadi sebab pengharaman, mereka yang berpendapat dengan pendapat ini adalah shahabat `Ali, Ibnu `Abbas, Ibnu `Umar, Hasan al-Basri, Az-Zuhri, Qatadah, Ats-Tsauri, begitu juga yang dipegang oleh Abu Hanifah dan Malik. Mereka berhujjah dengan dasar bahwa Allah mengkaitkan pengharaman itu dengan nama ‘Rodo`’ yaitu persusuan. Maka tatkala ada nama berarti ada hukum.

Ketiga, tidak menjadi sebab keharaman kecuali 5 (lima) sedotan. Pendapat ini dibawa oleh Ibnu Mas`ud, Ibnu Zubair, Atha`, Thawus, Syafi`i, Ahmad, Ibnu Hazm dan segolongan `ulama yang lain. Mereka mendasarkan pendapatnya dengan hadits `Aisyah tentang kisah Salim. (Abdus Salam, vol. 3 hal. 440).

Dan dalam kitab “Al-Mughni” Ibnu Qudamah (vol. 11 hal. 313) menyebutkan bahwa yang masyhur dikalangan para ulama` adalah adalah 5 (lima) sedotan.

Hubungan suami istri dalam Islam membolehkan suami menyusu kepada istrinya. Dan sebenarnya para ulama sudah menjelaskan apa saja syarat penyusuan yang bisa berdampak pada kemahraman seseorang dengan saudara susuannya. Yang paling penting adalah batasan usia yang menyusu. Yaitu dalam masa waktu dua tahun. Dua tahun adalah masa intensif untuk seorang bayi menyusu.

Dari Ibni Abbas ra berkata, “Penyusuan itu tidak berlaku kecuali dalam usia dua tahun” (HR. Ad-Daruquthuny).

Rasulullah SAW bersabda, “Penyusuan itu tidak berlaku kecuali apa yang bisa menguatkan tulang menumbuhkan daging.” (HR. Abu Daud).

Dari Ummi Salamah ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Penyusuan itu tidak menyebabkan kemahraman kecuali bila menjadi makanan dan sebelum masa penyapihan.” (HR. At-Tirmizi).

Hadits terakhir menjelaskan bahwa bila telah lewat masa penyapihan seorang bayi lalu dia menyusu lagi, maka bila dia menyusu lagi tidak berdampak pada kemahramannya. Namun dalam hal ini para fuqoha berbeda pendapat:

1. Al-Malikiyah berpendapat bahwa hal itu tidak menyebabkan kemahraman dengan bayi yang menyusu pada wanita yang sama. Karena kedudukan air susu itu baginya seperti minum air biasa.

Dengan demikian maka bila seorang suami menyusu pada istrinya, jelas tidak mengakibatkannya menjadi saudara sesusuan, karena seorang suami bukanlah bayi dan telah tidak menyusu sejak lama. Suami itu sudah melewati usia dua tahunnya, sehingga ketika dia menyusu kepada seorang wanita lain termasuk istrinya, tidak berpengaruh apa-apa.

2. Namun sebagian ulama mengatakan bila seorang bayi sudah berhenti menyusu, lalu suatu hari dia menyusu lagi kepada seseorang, maka hal itu masih bisa menyebabkan kemahramannya kepada saudara sesusuannya. Di antara mereka adalah Al-Hanafiyah dan Asy-Syafi`iyyah. Termasuk pandangan ibunda mukimin Aisyah ra.

Pendapat mereka itu didasarkan pada keumuman hadits Rasulullah SAW:

“Sesungguhnya penyusuan itu karena lapar”.(HR. bukhari, Muslim dan Ahmad).

Dan dalam kondisi yang sangat mendesak, menyusunya seseorang laki-laki kepada seorang wanita bisa dijadikan jalan keluar untuk membuatnya menjadi mahram. Hal itulah yang barangkali dijadikan dasar oleh Aisyah ra. tentang pengaruh menyusunya orang dewasa kepada seorang wanita.

Rasulullah SAW memerintahkan Sahlah binti Suhail untuk menyusui Salim maka dikerjakannya, sehingga dia berposisi menjadi anaknya. (HR Ahmad, Muslim, Nasai dan Ibnu Majah).

Namun menurut Ibnul Qayyim, hal seperti ini hanya bisa dibolehkan dalam kondisi darurat di mana seseorang terbentuk masalah kemahraman dengan seorang wanita. Jadi hal ini bersifat rukhshah (keringanan). Hal senada dipegang oleh Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah.

Dari berbagai pendapat yang dikemukakan oleh para ahli atau pun tokoh agama, jadi menurut saya hukum seorang suami menyusu kepada istri terbagi dua, boleh dan dilarang. Boleh karena tempat suami menyusu itu merupakan hal yang telah dihalalkan oleh Allah SWT melalui akad nikah, sedangkan diharamkan karena air susu yang dimiliki oleh seorang istri tersebut merupakan berasal dari laki-laki atau sang suami tersebut.


PENUTUP

1. Kesimpulan

Dari berbagai pendapat yang dikemukan oleh para ahli dan tokoh agama dapat disimpulkan bahwa hukum sorang suami menyusu kepada istri itu terbagi dua boleh dan dilarang.

2. Saran

Pemakalah menyaran agar pembaca dapat menjadikan makalah ini sebagai bahan bacaan atau pun dalam pembuatan sebuah makalah atau pun hal sejenisnya.

DAFTAR REFERENSI

http://wasiskuwasis.blogspot.com/2009/04/hukum-seorang-suami-menyusu-pada.html

http://qiblati.com/hukum-suami-menyusu-pada-istrinya.html

http://ayonikah.net/hukum-suami-meminum-asi-istrinya.html

http://www.mail-archive.com/keluarga-sejahtera@yahoogroups.com/msg05290.html

http://al-atsariyyah.com/hukum-menyusu-kepada-istri.html

keseuaian dalalah (makna)

makalah Tarjamah

oleh : lisa kurniati

مقالة الترجمة 11

الموضوع

المطابقات الدلالية

اعداد :

ليسا كرنيتي : 08102015

أفري ينيلت : 08.102.006

المحاضر :

ا.د مسنال زجولي

دكترندس الحاج بيهقي أنس

قسم التربية تخصص اللغة العربية

في جامعة باتو سنكار اللإسلامية الحكومية



الباب الأول

مقدة

أ‌. الدوافع لاختيار المشكلات

Terjemah adalah memindahkan bahasa asal dengan bahasa tujuan, dimana dalam menterjemah yang harus kita perhatikan adalah menterjemah secara maknawiyah bukan secara kosakata atau mufradat karena apabila menterjemah kosakata kita akan menemukan terjemahan yang tidak sesuai dengan tata bahasa tujuan yang baik yaitu Bahasa Indonesia yang sesuai dengan EYD (ejaan yang dibakukan). Makna adalah suatu kata yang disampaikan oleh seseorang (pembicara) kepada orang lain (pendengar) sehingga pendengar bias mempersepsikan makna dibalik ujaran yang disampaikannya. Dalam menterjemah harus juga diperhatikan kesesuaian makna antara bahasa asal dengan bahasa tujuan.

Oleh sebab itu kami pemakalah mengangkat judul tentang Kesesuaian Makna (المطابقات الدّلالية )

ب‌. تحديد المشكلات

أما تحديد المشكلات هي :

1. تعريف الدلالية

2. المطابقات الدلالية



الباب الثانى

المطابقات الدلالية

1. تعرف الدلالية (Pengertian Makna)

يعرفه بعضهم بأنه "دراسة المعنى " او العلم الذي يدرس المعنى " او ذلك الفرع من علم اللغة الذي يتناول نظرية المعنى "او ذلك الفرع الذي يدرس الشروط الواجب توافرها فى الرمز حتى يكون قادرا على حمل المعنى. [1]

Pengertian makna menurut para ahli diantaranya :

a. Menurut Bloomflied mengemukakan bahwa makna adalah suatu bentuk kebahasaan yang harus dianalisis dalam batas “unsure” penting situasi dimana penutur mengujarkannya

b. Menurut Aminnudin mengemukakan bahwa makna merupakan hubungan antara bahasa dengan bahasa luar yang disepakati bersama oleh pemakai bahasa sehingga dapat saling mengerti.

Dalam kamus linguistic, pengertian makna dijabarkan menjadi:

a. Maksud pembicara

b. Pengaruh penerapan bahasa dalam pemakaian persepsi atau perilaku manusia atau kelompok manusia

c. Hubungan dalam arti kesepakatan atau ketidaksepadanan antara bahasa atau bahasa ujaran dan semua hal yang ditunjukkannya.[2]

Jadi makna adalah maksud dari suatu kata yang disampaikan oleh seseorang (pembicara) kepada orang lain (pendengar) sehingga pendengar bias mempersepsikan makna dibalik ujaran yang disampaikannya.

2. المطابقات الدلالية

يمكن أن نوجز المطابقات الدلالة بين وحدات اللغتين في ثلاثة أنواع الأساسية :

1) المطابقات الكاملة

إن حالات التطابق الكامل للوحدات المعجمية، بكل حتم معناها الدلالي، نادرة نسبيا في للغات المختلفة. وكقاعدة عامة، إن هذه الوحدات ذات معنى واحد، أي أنها لاتمللك في كاتا اللغتين إلا معنى معجميا واحدا.

تعزى إلى المطابقات الكاملة الكلمات التي تعود غابا إن المجموعات المجمية التالية:

أ‌. أسماء العلم, وتسميات الجغرافية، الداخلة في مفردات كل اللغتين, مثلا:

بولونيا : Polandموسكر:Moskow

ب‌. المصطلحات العلمية والتقنية, مثلا:

برتون : Proton (B.Inggris dan B. Indonesia)

خط الاستواء : Equator (B. Inggris), ekuator (B.Indonesia)

الضوديوم : Sodium

ت‌. مجموعة من الكلمات, القرية من حيث الدلالة من المجموعتين تامذكورتين,مثل أسماء الأشهر والأعداد وأيام الأسبوع:

كانون الثاني : January (B.Inggris) sedangkan Januari (B.Indonesia)

يوم الاثنين : B.Inggris) sedangkan Minggu (B.Indonesia) ) Monday

وعلى كل حال ، لا ينبغي أن نفكر بأن كل الكلمات، التي تعود إلى المجموعات المذكورة مقدما، تنتسب إلى المطابقات الكاملة. هناك حالات، لا يلحظ فيها المعنى الواحد للمطابقات، في نطاق صنوف دلالية معينة للكلمات. وهكذا، تتصف الكلمات المصطلحات، في حالات عديدة، بتعدد المعانى، وبحكم هذا، فإنها لا تملك، مطابقة واحدة، بل عدة مطابقات في اللغة الأخرى. مثلاً، إن للمصطلح الانكليزي power في الفزياء عدة عربية : سلطة ، قوة ، شخص ذوسلطة ، حق أو اختصصاص أو صلاحية شرعية أو صلاحية رسمية ، مصدر طاقة ، قوة المجهر على التكبير.

وفي حالات نادرة جيدا، يمكن أن توجد المطابقة الكاملة أيضا، أي تطابق الكلمات في لغتين بكل حجم معانيها لدلالية، لدى الكلمات ذات الماني المتعددة. وهكذا، إن للكلمة الانكليزية lion المعني التالية : أسد ، ليث ، الكوجر (أسد أو نمر أمريكي) ، برج الأسد ، سبع الحر ، الشعار الوطني البريطاني. إلا أن هذه المطابقة الدلالية الكاملة تختل في صيغة الجمع ، ذلك أن الكلمة الإنكليزية Lions ، التى تبدأ بحرف كبير ، تعني (( معالم المدينة التي ينبالي للزائرين أن يشاهدوها ))

من المعلوم أن المطابقات الكاملة لاتمثل صعوبات للمترجم ، ولايتعلق نقها بالسياق، ولاتتطلب من المترجم إلا المعرفة الوثية بالمكافئ الملائم.

2)المطابقات الجزئية

إن أكثر الحا لات انتشارا, أثناء مقارنة وحدات اللغتين المجمية, هي حالات المطابقة الجزئية, حيث تطابق عدة مكافئات دلالية في لغة الترجمة كلمة واحدة في لغة الأصل. تتميز أغلبية الكلمات في أية لغة بتعدد المعني.

يورد الدكتور أحمد مختار عمر, في علم الدلالة, أمثلة على اتساع مدلول الكلمة في لغة ما, وضيقة في لغة أخر

- (( طويل) التى يقابلها في الإنكليزية tallو longولكل منهما استخدامه الخاص.وكثيرا ما يحدث الخلط بين مستخدمي اللفظين الإنكليزين من العرب, فيضعون أحدهما مكان الآخر.

- (مشغول) في العربية التي يقابلها في الإ نكليزية busyو engaged.وكثيرا ما يخلط بينهما العرب فيصفون التلفون مثلا بأنه busy.

- (قريب) في العربية التي يقابلها في الإنكليزية relativeو near والفرق بينهما واضح.

- (مكتبة) في اللغة العربية التي نقابلها في اللغة الإنكليزية كلمة library وتعني المكتبة العامة التي يرتادها الجمهور للإطلاع, وكلمة book-storeأو bookshop وتعني المكتبة التي تقوم ببيع الكتب, وكلمة book-collection وتعني المكتبة ذات الملكية الخصة.

ينبغي ألانستنج مما تقدم عن اللاتمييز الدلالي لرموز لغة من اللغات ، بالمقارنة مع لغة أخرى ، أن هذه اللغة أو غيرها (غير قادرة) على تحديد مفهوم ما، وأنهاـ في هذا الصدد – (أقل تطورا من اللغة الأخرى ، التي يوجد فيها رمز خاص لهذا المفهوم. إن أية لغة قادرة – من حيث المبدا – على تحديد أي مفهم.

تستعين اللغة ، كفاعدة عامة، بالعبارات الوصفية ، عند غياب الوحدات المعجمية الخاصة، من أجل تدقيق المفاهيم اللاتمييزية.

كرز حامض Sour cherry

كرز حلو Sweet Cherry

تمثل ظاهرة تعدد المعني ، أثناء الترجمة ، صعوبة للمترجم ، الذي لا بدله من الاختيار بين المطابقات الممكنة في لغة الترجمة ، من أجل نقل كلمة لا تمييزية في لغة الأصل.

إن مثل هذا التحليل المفارن للمفردات اللغوية ، لا يعود بالنفع على الترجمين فحسب، بل وعلى دارسي اللغات الأجبية. وهو يبين بوضوح أن الوحدات المعجمية للغين لا تتطابق بالكامل إلا في حالات نادرة للغاية ، من حيث معناها الدلالي ، وفي غالب الأحوال لا تتطابق إلاجزئيا.

3) انعدام التطابق التام

إن الحديث عن (انعدام النطابق التام) هو الحديث عن (المفردات غير المطابقة) إن هذه المفردات هي الوحدات المعجمية في لغة ما ، ليست لها مطابقات كاملة أوجزئية في مفردات لغة أخرى.

أ‌. أسماء العلم ، والتسميات الجغرافية، وأسماء المؤسسات والمنظمات والصحف والبواخر، وغيرها من الأسماء ليست لها مطابقات ثابتة في مفردات اللغة الأخرى.

ب‌. الكلمات التي تعبر عن المألوفات الثقافية والاجتماعية ، أي عن العادات والمفاهيم والمواقف، في لغة الأصل ، والتي ليست لها مطابقات في لغة الترجمة.

ترشدنا الترجمة الطرائق التالية لنقل المفردات غير المطابقة:

1) النقحرة و التعبير بالرموز الصوتية

إن النقحرة في الترجمة, هي نقل حروف لغة الأصل إلى حروف لغة الترجمة, أوكتابة لغة الأصل بحروف لغة الترجمة , أي أن الشكل الخطي أو التركيب الحرفي للكلمة في لغة الأصل, ينقل – أثناء النقحرة- بوسائل لغة الترجمة.

وننقل الكلمات الإنكليزية التالية إلى اللغة العربية, بواسطة النقحرة, على الشكل التالي:

الموفينة Muffin:

الطوفي Coffee:

2) المحاكاة اللغوية

إن المحاكاة اللغوية هي نقل تعبير من الى أخرى بترجمة حرفية. تتلخص هذه الطريقة في نقل المفردات غير الطابقة في لغة الأصل, بالاستعاضة عن أجزائها التركيبية- المورفامات أو الكلمات في العبارات الثابتة- بمطابقاتها المعجمية المباشرة في لغة الترجمة.

إن المحاكاة اللغوية لا تكشف دوما للقارئ, الذى يجهل لغة الأصل, عن معنى الكلمة أو العبارة المنقولة. وكثيرا ما يكون للكلمات المركبة والعبرات الثاتة معنى مختلف عن مجموع المعاني لمكوناتها. مثال:دار الثقافة—house of culture

3) الترجمة لوصفية (الايضاحية)

نتلخص هذا, الطريقة, من طرائق نقل المفردات غير المطابقة, في الكشف عن معنى الوحدة المعجمية في لغة الأصل, بواسطة العبارات الإيضاحية, التي تكشف عن الدلائل الجوهرية لهذه الوحدة المعجمية, أي بواسطة تعريفها في لغة لترجمة. مثال: المصارب الذي يلعب علي رفع أسعار البورصة--bear

4) الترجمة التقريبية

تتلخص الترجمة التقريبية في إيجاد المطابقة الأقرب من حيث المعني في لغة الترجمة, بالنسبة للوحدة المعجمية في لغة الأصل, التي ليست لها مطابقة دقيقة في لغة الترجمة. مثال: صيدليّة--drugstore

5) الترجمة التحويلية

يضطر المترجم أثناء نقل المفردات غير المطابقة, في بعض الحالات, إلى إعادة إنشاء البساء النحوي للجملة, أو إلى إجراء التبديلات المعجمية, أو إلى هذه وذلك معا, أي إلي مايسمي بالتحويلات المفرداتية- النحوية.

مثال: لقد مات من النزلة—he died of exposure[3]



الباب الثالث

خاتمة

1. خلاصة

makna adalah maksud dari suatu kata yang disampaikan oleh seseorang (pembicara) kepada orang lain (pendengar) sehingga pendengar bias mempersepsikan makna dibalik ujaran yang disampaikannya. Jadi kesesuaian makna adalah ketepatan dalam menterjemahkan bahasa asal kebahasa tujuan dengan makna yang baik dan benar.

بمكن أن نوجز المطابقات الدلالة بين وحدات اللغتين في ثلاثة أنواع الأساسية:

أ‌. المطابقات الكاملة (Kesesuaian Sempurna )

ب‌. المطابقات الجزية

ت‌. انعدام التطابق التم

2. إفتراحات

أخيرا, نرجو الفكرة النافعة والنقود الصحيحة من القراء لتحسين وتكميل هذه المقالة. ونستعذر العفو إذا وجد الخطأت والاختلافات. كل شيء حسن من الله وكل خطأ من الناس. الانسان محل الخطأ والنسيان. ونرجو من الله أن يجعل هذه المقالة العلمية مقالة نافعة للكاتب وللقراء ولمن يهتم بها وعسى أن تكون عملا صالحا.آمين.



المراجع

الدكتور احمد مختار حميد . علم الدلالة .القاهر : العالم الكتب . 2005

http://sastrawancyber.blogspot.com/2010/04/makalah-aspek-makna-dalam-semantik.html diakses tanggal 22 maret 2011

الدكتور أسعد مظفر الدين جكيم . علم الترجمة التخرى .دمشق:أوتوسترد المزة



[1] الدكتور احمد مختار حميد ، علم الدلالة ، (القاهر ، العالم الكتب, 2005) ص : 11

[3] الدكتور أسعد مظفر الدين جكيم ، علم الترجمة التخرى ، ( دمشق:أوتوسترد المزة) ص,93-120